Kamis, 31 Mei 2018

BANG DARUZ

"Teng... teng...teng...teeenggg........ nasi goreng panas pedas siaapp...."
            Suara Sukma menjadi alarm pagi bagi Abangnya yang selalu bangun siang.  Abangnya yang dipanggil Bang Daruz itu akan langsung melonjak bagun dan berlari menuju meja makan. Tanpa cuci muka, dia akan langsung menyantap habis sarapan favoritnya itu. Namun berbeda dengan pagi ini. Lebih dari sepuluh kali teriakan Sukma membangunkan Abangnya, tapi tidak ada respon. Bahkan Sukma pun sudah berteriak sambil memukul panci di depan pintu kamar Abangnya, namun tetap, yang dibangunkan membisu. Hingga Sukma yang selalu tidak pernah kehabisan akal membangunkan Abangnya, berlari kearah kamar Abangnya dengan sepiring nasi goreng ditangannya. "Mmmm..... nasi goreng puyuh pedas favorit udah siaaaapp..... masih panas lagi. Siapa mau? yang mau harus cepat turun, ditunggu 10 detik harus udah duduk di meja makan. Hihihihi....." Sukma kembali berlari menuju meja makan sambil menghitung. "8...." Teriaknya. Tidak ada jawaban. "9...." Teriaknya lagi. "9 setengaaaaahh.....hihihi....." Sukma cekikikan sendiri. "Sepuluuuuuuuuuh...." Teriaknya lebih keras. Namun tetap tidak ada jawaban. Kamar bercat biru di lantai 2 itu menunjukkan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sukma jadi heran. Dengan cepat Sukma berlari menuju kamar Abangnya, kemudian langsung membuka pintunya.
            "Hah?????!!!!!!!" Sukma melongo. Kamar Abangnya kosong. Semua isi kamar telah tertata rapi, tidak terlihat lagi selimut yang hinggap dimana-mana, majalah yang berserakan di lantai, kaos kaki belum dicuci yang naik ke kasur. Lantainya juga tidak becek seperti biasanya. Semua rapi, bersih, dan juga ruangannya wangi. "Waw.... kamarnya seperti disulap, tapi kemana penghuninya ya?" Gumam Sukma pada dirinya sendiri. Ia benar-benar terkejut, ini semua bukan diri Abangnya yang sesungguhnya. Aneh. "Baaang....." Sukma kembali berteriak, mencari ke tiap sudut rumahnya. Namun, Abang satu-satunya yang amat menyayanginya itu tidak tampak batang hidungnya. Heran. Memang, beberapa hari ini kelakuan Abangnya begitu misterius bagi Sukma. Selalu bangun pagi, shalat tepat waktu, kamarnya selalu rapi, karena biasanya Abang Sukma paling anti bangun pagi, paling malas urusan rapiin kamar, paling banyak alasan kalau diajak shalat, bahkan untuk sekedar mandipun harus dipaksa. "Heemm" Sukma mendesah, ia menyerah, meski harus berapa kali keliling rumahnya yang berukuran minimalis itu, Abangnya tidak akan ditemukan. Karena, pagi ini ia tidak melihat sepatu satu-satunya milik Abangnya yang selalu dipakai kemana saja dan juga tas Alto yang sering dibawa hingga warnanya mulai memudar. "Yah..... Abang pasti pergi tanpa pamit lagi, tanpa sarapan juga..... Hemmm" Desah Sukma. Kecewa.
***
Pukul 16.30
            Pintu ruang tamu yang tertutup rapat tiba-tiba terbuka perlahan, seakan yang membuka tidak ingin ada yang tahu bahwa dirinya telah pulang. Namun sayang, Sukma yang memang sejak pagi tadi mencemaskan perubahan  Abangnya dan menantinya pulang begitu mendengar derit pintu tertahan langsung membuka matanya. "Abang...." ucapnya kemudian keluar kamarnya. Benar saja, Abangnya telah datang dan sedang membuka sepatunya di sofa. "Bang....." panggil Sukma manja, ia langsung memeluk leher Abangnya dari belakang. "Kok bangun?" Tanya Daruz sambil terus membuka sepatunya. "Gak bisa tidur" jawab Sukma singkat. "Ha ha ha ha ha ha ha ha..............." Daruz tidak bisa menahan tawanya mendengar jawaban Sukma. "Ada yang lucu?" cubitan keras langsung mendarat di lengan Daruz. "Bukan lucu, tapi aneh. Siapa yang tidak tahu kamu paling jago tidur, moro-moro sekarang bilang gak bisa tidur" Daruz menirukan suara Sukma kemudian kembali tertawa, Sukma kelihatan sewot.
            "Bang..." Sukma duduk disamping Daruz, Daruz hanya menoleh, menaikkan alisnya menatap Sukma. "Sukma merasa akhir-akhir ini Abang aneh" Sukma memperlihatkan mimik seriusnya. "Aneh gimana?" Daruz tidak kalah seriusnya. " Ya aneh, Abang selalu bangun pagi, kamarnya selalu rapi, shalat tepat waktu, Abang juga jadi rajin mandi..." Sukma menjawab sambil menghitung dengan jarinya. "Masak hal begituan aneh sih? Kan harusnya kamu tuh bangga Abang banyak perubahan sekarang. Kamu juga kan gak harus capek-capek bersihin kamar Abang kan...!!???" Daruz menunjuk dahi Sukma dengan jari telunjuknya. "Abang lagi jatuh cinta ya?" Muka Sukma tiba-tiba cemberut. "Kalau jawabannya iya kenapa?" Daruz tersenyum melihat tingkah adik semata wayangnya, ia jadi ingat saat perpisahan dengan kedua orang tuanya yang terpaksa meninggalkan mereka berdua karena harus bekerja ke luar negeri dan sampai saat ini tidak kunjung beri kabar sekalipun. "Sukma tidak suka Abang dekat dengan wanita manapun. Karena pasti kasih sayang Abang buat Sukma berkurang." Ucapan Sukma membuat Daruz tertawa terpingkal-pingkal. "Tuh kan, ketawa lagi, bikin sebel" Sukma tambah cemberut, tapi wajahnya tetap terlihat cantik seperti biasanya. " Dengerin ya, adikku sayang, gadis tercantik dalam hidup Abang, gadis termanja yang bawelnya masyaAllah, Abang tidak akan jatuh cinta, tidak akan pacaran, apalagi menikah, sebelum adik Abang yang paling usil ini mendapatkan pasangan hidup dan berhenti jadi gadis usil lagi. ok... Udah ah, Abang mandi dulu....." Daruz beranjak sambil memegangi kepalanya yang belakangan ini memang selalu sakit tiba-tiba. Sukma tertawa puas mendengar janji Abangnya. Dan ia tidak perlu khawatir lagi kasih sayang Abangnya akan terbagi.
***
            "Bang...."
            Tanpa mengetok pintu, Sukma langsung masuk ke kamar Abangnya. Yang dipanggil terkejut, tangannya spontan menyembunyikan sesuatu dibalik punggungnya. "Wah, lagi baca surat cinta ya... Dari siapa tuh...." Goda Sukma sambil berjalan kearah Abangnya. "Aaa aah... Bukan......bukan..." Jawab Daruz gugup. Ada sesuatu yang ditahan dalam hatinya, meski sesuatu itu mulai terbendung dalam dua bola matanya namun Daruz tidak ingin mengeluarkannya, karena ia sangat mencintai gadis cantik dihadapannya itu, ia tidak ingin membuat wajah cantik itu bersedih, hingga Daruz bertekad selama 3 tahun ini hanya akan merasakannya sendiri dan akan selamanya ia simpan dalam hatinya.
            "Hem... Sebel deh, bilangnya tidak akan jatuh cinta, pacaran, apalagi menikah sampai Sukma menikah dan hidup bahagia, tapi tadi itu surat dari pacar Abang kan...." Sukma menampilkan muka cemberutnya. Daruz menarik hidung Sukma gemes. "Auuu.... Abang, sakit tau'.." Tangan gadis cantik itu langsung memukul Abangnya. "Biarin, makanya jangan hanya cemburu aja bisanya. Ini bukan surat cinta." Ucap Daruz sambil cepat-cepat menyimpan lembaran mengerikan itu. Ia tidak ingin adiknya melihat apalagi sampai membacanya. meski 1 huruf pun. No. Tidak boleh. "Kalau bukan surat cinta, kenapa diumpetin hayoo..." Sukma berusaha mengambil lembaran surat itu. "Ah ini, tidak percaya amat, kalau Abang bilang bukan ya bukan sayang....."Daruz berhasil menyimpan surat itu ke dalam lacinya, kemudian menguncinya. "Nah, sekarang katakan ada kepentingan apa hingga adik Abang yang cantik ini dengan susah payah menaiki tangga dan datang ke abang kamar yang bersih dan rapi ini.." Ucap Daruz sambil merentangkan tangannya. Kedua alisnya naik turun dengan cepat. Diraihnya tangan adik perempuannya itu kemudian dipeluknya. Perasaan aneh itu kembali menjalar lagi, kali ini Sukma juga merasakan perasaan aneh itu, ia merasa lain pada pelukan abangnya kali ini, merasa beda, pelukan yang begitu hangat, sangat erat, beda seperti pelukan biasanya. Hati Sukma merasa seperti itu adalah kehangatan terakhir dari abangnya. Buru-buru Sukma melepaskan pelukannya, sebelum perasaannya semakin larut dalam keanehan.
            "Ya... Hanya sekedar kunjungan biasa dari saudara bungsu. Ok deh Sukma balik ke kamar aja, sepertinya mengganggu Abang banget..." Ucapnya ketus kemudian melangkah meninggalkan Daruz. Seperginya Sukma, Daruz tidak dapat lagi menahan bendungannya lebih lama. Air matanya mengucur deras ketika Sukma hilang dibalik pintu kamarnya. Nyeri di hatinya membuat kepalanya berdenyut-denyut, air matanya terus mengalir, bukan karena cengeng atau tidak jantan tapi Daruz memang harus menangis dalam kondisi perasaannya yang seperti saat ini. Air matanya yang terus mengalir mulai masuk ke hidungnya bersama ketika ia tarik nafas, membuat kepalanya semakin nyeri dan tambah berdenyut-denyut, pandangannya tiba-tiba berkunang.
***
"Bang...."
            Seperti biasa, Sukma menjadi alarm pagi Abangnya. Sukma memanggil-manggil abangnya sambil mengetok pintu kamar Daruz "Abang, belum bangun ya? Tumben...." Kembali jari-jari lentik Sukma mengetok pintu kamar abangnya. Tetap not responding. Sukma pikir, tidak mungkin abangnya udah berangkat seperti biasanya, karena sepatu dan ranselnya masih ada, bergantung di pojok tangga. "Bang... Abang...." Kali ini suara Sukma agak berteriak, suara lembut jari ketukannya berubah menjadi pukulan lima jari. "Baaang...." Suara Sukma semakin keras sambil tangannya mengedor-ngedor pintu, namun belum juga ada jawaban. Sukma menjadi gusar bukan karena tidak sabar karena abangnya tidak segera membuka pintu kamarnya, tapi karena kelakuan aneh abangnya akhir-akhir ini yang membuat Sukma khawatir.
            15 menit berlalu, Sukma masih bingung, karena usaha membuka kamar abangnya masih juga belum berhasil, hingga ketika beberapa tetangganya yang kebetulan lewat membantunya mendobrak pintu kamar Daruz yang memang tidak memiliki kunci duplikat. "Abaaaanggg.............." Teriak Sukma ketika pintu terbuka. Daruz terbaring tidak berdaya dengan mata tertutup rapat di ranjangnya. Ada darah bekas mimisan di hidungnya. Kamarnya yang beberapa hari ini terbiasa rapi, kini tampak berantakan, mungkin belum sempat dirapikan. "Bang.... Bangun bang.... Abang...." Sukma menepuk-nepuk pipi abangnya, namun Daruz seperti berkata good bye pada jiwanya, ia tetap tidak sadarkan diri, tubuh kurus dan jangkungnya kini lemas lunglai dipangkuan Sukma. Sadar tidak ada reaksi dari abangnya, Sukma langsung menghubungi rumah sakit terdekat. 5 menit kemudian ambulance datang dengan bunyi mendebarkan bagi tiap telinga yang mendengarnya.
            30 menit sudah Daruz berada dalam ruang ICU. Sukma tidak bisa tenang menunggu di luar ruangan, dokterpun tidak kunjung keluar dari ruangan Daruz, membuat kaki Sukma tidak merasakan sakit meski dari semenjak datang terus mondar mandir, menunggu dengan cemas kabar dari dokter yang menangani abangnya. Dalam hati Sukma masih bertanya-tanya hal apa yang sedang dialami abangnya, karena selama 22 tahun hidup berdua dengan sang abang, tidak sekalipun ia mendengar kabar sakitnya. Memikirkan hal itu Sukma menjadi semakin cemas. Kecemasan Sukma bertambah ketika ia melihat dokter Hartono yang keluar dari ruangan abangnya dengan wajah putus asa dan penuh penyesalan. Ada air mata yang sempat diusapnya. Pandangan dokter Hartono membuat Sukma takut yang diduga-duganya terjadi. "Dokter...." dengan sisa-sisa tenaganya Sukma menghampiri dokter Hartono yang masih berdiri di pintu ruangan. "Maaf..." Ucap dokter Hartono sambil membuka masker di wajahnya. "Aku tidak tahu ini sejak kapan, tapi saat ini sudah terlambat untuk menyelamatkannya" Lanjut dokter Hartono sambil menatap Sukma. "Terlambat untuk menyelamatkannya? Maksud dokter apa?" Suara Sukma tidak bisa lagi dibilang kecil. "Dokter, apa yang tejadi pada abang saya?" Sukma kembali bertanya. "Dokteeeerr......" Teriak Sukma, ia hampir kehilangan kesabarannya. "Abangmu, dalam otaknya terdapat tumor ganas" Jawab dokter Hartono pelan, nadanya benar-benar putus asa. "Apa? Tumor?" Sukma melonjak kaget, ia tidak percaya sepenuhnya. "Bagaimana bisa dok? Selama ini abang saya baik-baik saja, dia tidak pernah mengeluh sakit, walau sekalipun. Aku tidak percaya ini terjadi". Sukma menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia berteriak dalam hatinya, ada luka yang kembali basah disana. "Dan tumor itu telah merenggut nyawa abangmu" suara dokter Hartono hampir tidak terdengar. "Apaa? Abaangg....." Sukma berlari memasuki ruangan abangnya. "Abang.... Tidak mungkin, bang bangun bang, ini Sukma bang, ini Sukma, bangun bang...." tangis Sukma pecah, membuat suster berhenti membenahi peralatan operasi. "Tidak mungkin, abang.... tolong jangan begini, bangun bang, bangun. Jangan tinggalkan Sukma bang, abaaaangg....." Sukma menangis sambil memeluk tubuh kaku abangnya.
            "Aku tidak tahu pasti kapan tepatnya bibit itu mulai berkembang biak di otak abangmu, tapi ini sudah cukup lama, mungkin sudah bertahun-tahun, mungkin saja abangmu sengaja merahasiakan ini semua padamu karena alasan tertentu" Ucap dokter Hartono yang sudah berdiri disamping Sukma entah sejak kapan. "Tidak, tidak, aabang.... bangun bang, ini Sukma bang.... huuuuu huuuu hiks hiks hiks hiks.... Abang sendiri yang mengatakan ayah dan bunda pergi tanpa ucapan selamat tinggal, tapi sekarang kenapa abang pergi seperti ini, kenapa abang meniru jejak mereka" Teriakan Sukma semakin keras membuat tangan dokter Hartono beralih memeluknya. "Abangmu akan menjalani hidup yang lebih baik..." Hibur dokter Hartono ikut nenitikkan air mata. Sukma masih tetap menangis.
***
1 Minggu Kemudian
            Seminggu sudah, rumah berukuran minimalis itu dirundung duka dan air mata. Sukma masih belum bisa menerima kepergian abangnya, satu-satunya keluarga yang seminggu lalu juga telah pergi meninggalkannya, telah pulang kehadirat-Nya, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa kata terakhir yang menghibur. Daruz benar-benar pergi seperti orang tuanya. Sukma hanya menghabiskan waktunya dengan menangis di kamar abangnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, lembar surat yang sempat dilihatnya, yang pernah abangnya sembunyikan. Sukma langsung mencarinya, bawah kasur, dibalik sarung bantal, di kolong tempat tidur pun tidak lepas dari incarannya, biasanya disanalah tempat-tempat penyimpanan rahasia abangnya, hingga Sukma semakin yakin kalau surat itu ada hubungannya dengan kepergiannya yang tiba-tiba.
            Begitu Sukma mengangkat bantal guling abangnya, sesuatu meluncur keluar dari dalamnya. Kunci. Ya, kunci sebuah laci, satu-satunya laci yang ada di kamar abangnya. Tanpa menunggu detik berikutnya, Sukma langsung memutar kunci itu ke kiri, lacipun terbuka. Dan memang benar, surat yang sejak tadi dicarinya ada dalam laci tersebut, dengan tangan yang sedikit bergetar, Sukma membuka surat itu perlahan dan mulai membacanya.
Deggg......
            Surat itu menjelaskan sebab kematian abangnya. Dalam surat itu tertulis jelas, tumor ganas yang berkembangbiak dalam otak abangnya. Air mata yang tidak pernah kering itu mengalir kembali, ia merasa selama ini telah memperhatikan abangnya dengan baik, tapi akhirnya hari ini ia tahu bahwa ia tidak lebih dari seorang adik bungsu yang manja dan mau menang sendiri, ia bahkan tahu penyakit abangnya setelah 1 minggu kepergiannya. Yang paling membuat ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri, ketika tahu bahwa 3 tahun sudah lamanya Daruz menyimpan dan merasakan sendiri tumor yang kini membawanya pergi itu. Air mata Sukma semakin deras. "Abang..... Maafkan Sukma bang..." gumamnya sambil menyeka air matanya yang setelah itu semakin deras mengalir. "Apa ini sebabnya abang mulai berubah dan tidak merepotkan Sukma? Apa ini bang? Apa karena abang akan pergi secepat ini?" Sukma menggenggam erat surat ditangannya itu.
"Jika Sukma tahu dari awal, mungkin abang masih tertawa di kamar ini. Kenapa abang sembunyikan ini semua dari Sukma bang..... Kenapa.... huuuu.. hiks hks hiks hiks...." Sekali lagi Sukma menyeka air matanya, matanya yang masih sembab dan merah semakin kentara. Hari ini dengan surat itu akhirnya terjawab semua keanehan yang ia rasakan, perubahan demi perubahan yang terjadi pada abang satu-satunya itu. "Baiklah bang, mungkin jalan yang Allah berikan buat abang dan Sukma adalah hal terbaik dari yang paling terbaik, karena mungkin abang akan lebih merasa sakit berkepanjangan jika hidup dengan penyakit itu, jika ini benar-benar demi kebaikan abang, Sukma ikhlas dengan kepergian abang, Sukma rela bang... Semoga abang benar-benar istirahat dalam damai di sisi-Nya. Amin"
***